Pendahuluan
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Kasus korupsi di Indonesia hampir selalu ada dalam topik berita kriminal di berbagai media masa Indonesia. Mulai dari media yang bersifat cetak, seperti Koran, majalah hingga ke piranti elektronik seperti radio, televisi bahkan di internet, tinggal ketikkan Korupsi di search engine akan ditemukan sangat banyak kasus korupsi yang telah terjadi.
Jika melihat fenomena yang terjadi di masyarakat dari generasi ke generasi bahkan sejak berdirinya bangsa dan negara ini, permasalahan korupsi sudah mewarnai kehidupannya dan hampir tidak mungkin dihilangkan. Korupsipun telah dipraktekkan oleh hampir semua lapisan masyarakat, apapun bentuknya, apapun sistem politiknya, dan siapapun pemerintahannya. Bahkan bisa dikatakan korupsi telah membudaya di Indonesia.
Isi
Kebudayaan korupsi di Indonesia membuat korupsi seolah sudah menjadi kebenaran umum. Entah disadari atau tidak, penulis melihat begitu banyak sekali pendidikan korupsi yang secara tersirat dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari. Mulai dari kalangan masyarakat kecil di pedesaan, pendidikan formal, bahkan sampai pada kalangan organisasi yang mengajarkanku untuk meneriakkan dengan lantang kata-kata “Tolak Korupsi”, namun kumengajarkan pada adik-adikku untuk korupsi. Dan berikut beberapa ceritaku
Di pesawahan daerahku pengairannya masih berasal dari sungai. Kebetulan lahan sawahku berada di bagian hulu, sehingga untuk pengairan di wilayah yang lebih hilir, akan melewati jalur air di dekat sawahku. Saat musim kemarau, untuk pengairan sawah dibagi berdasarkan hari. Setiap wilayah punya hari masing-masing untuk mengairi sawahnya. Namun kalau aku hanya mengandalkan giliran mendapatkan pengairan sawahku, bisa-bisa padiku mati duluan sebelum mendapatkan air sawah. Untuk menyelamatkan sawahku, maka aku diam-diam mengalirkan air ke sawahku, paling yang punya juga akan memaklumi ini.
Di pendidikan formal, khususnya di perguruan tinggi biasanya setiap tahun paling tidak ada satu program yang mendanai proyek-proyek mahasiswa. Disediakan sejumlah dana untuk mendanai proyek yang dibuat oleh mahasiswa. Saat aku membuat proyek, namun dana yang aku butuhkan kurang dari jumlah dana yang disediakan, maka aku akan memanipulasi estimasi anggaran, agar aku bisa mendapatkan dana sebanyak-banyaknya untuk menambah pemasukanku. Karena dana memang sudah disediakan dana sejumlah itu untuk memenuhiuntuk penelitianku.
Di dalam organisasi kampus, biasanya rencana anggaran selama satu tahun sudah ditetapkan di awal periode kepengurusan. Dan saat aku mendapati kegiatan yang pengeluarannya lebih kecil dari dana yang kurencaakan diawal periode, aku akan mengajarkan pada adik-adikku untuk menambahkan harga dari beberapa pengeluaran untuk kegiatan tersebut. Kalau atasan minta kwitansi, aku punya sekeranjang stempel toko, tinggal tuliskan harga yang dibutuhkan, setempel sendiri dan kwitansipun sudah kudapatkan. Sisa dananya dapat digunakan untuk menutupi kekurangan dana kegiatan yang lain.
Hinga suatu ketika aku melihat berita kerugian Negara akibat korupsi, secara serentak anggota badanku seolah ingin berkata, “Adili para pelaku tindak pidana korupsi dengan hukuman yang seberat-beratnya.” Dan hal itu memawa pikiranku untuk berfikir mengenai bagaimana cara menangani korupsi di Indonesia. Dan saat kulihat lebih mendalam mengenai korupsi, ternyata ada rantai system yang tersusun rapi yang seolah menjadi system kaderisasi yang luar biasa dari tindak korupsi. Pendidikan korupsi kini terorganisir secara rapi melalui system kebudayaan yang ada, yang menjadikannya sebagai kebenaran umum. Sehingga permasalahan korupsi menjadi permasalahan yang sangat rumit dan susah ditangani.
Karena pendidikan korupsi sudah menjadi rantai system yang rapi, maka cara untuk menghentikannya yakni dengan memutuskan rantai system itu. Jika memang ingin menjadi Indonesia yang baru, maka solusinya adalah dengan membunuh semua orang dewasa yang ada di negeri ini. Sehingga akan melahirkan peradaban baru yang terbebas dari rantai pendidikan korupsi.
Namun ternyata solusi itu tidak relevan dengan kondisi saat ini. Jika solusi itu diterapkan, ternyata akan timbul berbagai masalah yang lain, sehingga solusi tersebut kurang tepat untuk diterapkan. Sehingga kucoba untuk mencari alternatif yang lain, yakni pemutusan rantai system penddikan korupsi dengan cara yang lain.
Dan saat kucoba untuk memahami system pendidikan korupsi. Ternyata, aku sdah terjerumus dalam system didalamnya. Ternyata aku tak ada bedanya dengan koruptor-koruptor itu, hanya satu hal yang membedakanku dengannya, yakni kesempatan. Aku hanya punya kesempatan untuk korupsi di lingkup yang kecil, sehingga tak ada yang memberitakanku, sedangkan mereka punya kesempatan yang besar, sehigga memberikan kasus yang besar. Ternyata aku adalah koruptor. Tak ada gunanya selama ini aku menghujat para koruptor bila ternyta aku sediri koruptornya. Sehingga kutemukan solusi terbaik untuk menanggulangi korupsi, yakni dengan perbaikan diri dan dilanjutkan mengajak orang –oranng sekitar, khususnya pemuda-pemuda sekitar. Karena tak ada gunanya ketika koruptor yang sering kita hujat itu sadar, namun kita masih terus melakukannya. Karena paling yang berkuasa sekarang ini tak akan lama lagi berkuasa dan kelak kitalah penggantinya. Ketika pemuda Indonesia sudah baik, maka bisa dipastikan sepuluh sampai tiga puluh tahun lagi bisa dicapai Indonesia bebas korupsi.
Kesimpulan dan saran
Tindak korupsi sudah menjadi sistem yang rapi, menyusup dalam sistem kebudayaan dan telah diterima oleh kebenaran umum. Untuk menanggulanginya cara yang terbaik adalah dengan memutuskan rantai sistem tersebut. Dan saat yang paling tepat untuk pemutusan rantai ada pada generasi kita saat ini.
Dan Saran saya untuk mencapai itu:
1. Perbaikan mutu pendidikan serta pendidikan yang menyeluruh.
2. Peningkatan mutu sumber daya manusia
3. Membiasakan tidak mendasarkan perbuatan pada tindakan pendahulu kita.
4. Lebih sering introspeksi diri
5. Tidak menyamarkan hokum untuk membenarkan tindakan kita.